Minggu, 18 Desember 2011

Sejarah Industri Musik dan Rekaman Indonesia




sumberphoto: http://tribunnews.com


Menurut catatan Bens Leo (Newsmusik, 04/2000), sejarah industri rekaman di Indonesia berawal dari dua tempat: Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng Jakarta. Lokananta adalah milik pemerintah, dan melahirkan lagu-lagu daerah. Sementara Irama, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan. Nama-nama seperti Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di sana, yang awalnya hanya sebuah studio kecil di sebuah garasi di Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki tahun 1960-an.

Memasuki awal 1970-an, di daerah Bandengan Selatan Jakarta Kota, Dick Tamimi mendirikan studio rekaman Dimita. Studio rekaman ini juga menjadi pioner rekaman lagu-lagu pop, karena di tempat ini nama-nama tenar Koes Bersaudara, Panbers, Dara Puspita, Rasela, lahir. Keunikan Dimita, rekaman harus berhenti karena ada kereta api lewat. Pada saat itu, teknologi rekaman pun masih me- ngandalkan jumlah track yang kecil, 8 tracks. Karena terletak di pinggir rel kereta api, proses rekaman harus dilakukan begitu lama.

Setelah itu muncul raja studio rekaman Indonesia, dan kelak dianggap sebagai produser legendaris yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, yakni Yamin yang memiliki studio rekaman Metropolitan, kini Musica Studio dan Eugene Timothy yang memiliki Remaco. Remaco pernah menjadi perusahaan rekaman ter besar di Indonesia, dengan akses kuat ke pergaulan di dunia rekaman Internasional. Di Remaco, lahir nama-nama besar Bimbo, D’Lloyds, The Mercy’s dan kelak Koes Bersaudara yang pada tahun 1967 berubah nama menjadi Koes Plus pun pindah ke tempat ini.

Tatkala Remaco ambruk pada awal tahun 80-an dan Eugene tinggal mengandalkan sejumlah master rekaman yang masih dimilikinya, baik sejak di era rekaman piringan hitam maupun kaset rekaman, Musica ganti menunjukkan dominasinya. Dengan caranya sendiri, banyak sekali artis musisi yang mampu bertahan lama, dikontrak jangka panjang oleh Musica. Sebagai contoh adalah Chrisye, yang dimulai dari jaman album solo Sabda Alam (1978) sampai album Badai Pasti Berlalu (1999), direkam sebagian besar di Musica.

Dekade terakhir, industri musik dan rekaman Indonesia diwarnai kehadiran cabang BMG, Universal, EMI, Warner Music Indonesia dan Sony Entertainment, lima industri musik kelas dunia. Lima raksasa ini kira-kira mendapatkan 40-50 persen dari omzet industri rekaman Indonesia. Total omzet industri musik di Indonesia sekitar Rp 850-900 miliar per tahun dimana 40 persen untuk musik asing, yang royaltinya dikuasai kelima perusahaan tersebut. Sedang sisanya, sekitar 60 persen untuk musik Indonesia.

Ancaman terhadap industri musik dan rekaman di tanah air adalah persoalan pembajakan kaset dan CD yang meningkat tajam. Bahkan menurut Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) beberapa waktu lalu, pembajakan itu mencapai hingga 500%. Sementara itu, dengan kehadiran internet dan teknologi MP3, kini lagu-lagu kesukaan kita dapat didapatkan dengan mudah dan murah. Bisa dibayangkan, dalam satu CD MP3 yang dapat dibeli dengan harga kurang dari Rp 10 ribu, ratusan lagu artis kesukaan dapat kita nikmati.

Ramainya pembajakan, menemukan solusinya dengan perkembangan industri telekomunikasi yang bergerak signifikan. Beberapa yang membuat industri musik dan rekaman tetap bergeliat di antaranya adalah ringtone dan, khususnya, ring back tone. Ini cukup menarik. Sebab RBT merupakan layanan yang diberikan pemakai ponsel untuk diberikan bagi lawan bicara yang ingin menghubunginya, dengan menggantikan bunyi yang sekadar ” tut….tut…tut…” menjadi beragama lagu sesuai pilihan si empunya. Dengan harga berlangganan Rp. 5 ribu – Rp. 7 ribu per lagu per bulannya, bisa dibayangkan berapa duit yang berputar dari layanan ini. Beberapa waktu lalu, ketika lagu Mbah Surip ” Tak Gendong” mewabah, disebut-sebut RBT dari lagu ini menghasilkan uang milyaran rupiah, meski yang didapat Alm. Mbah Surip ‘cuma’ sedikit. Tentu bukan cuma “Tak gendong” lagu-lagu yang masuk jajaran “Top 40″, bahkan lagu religius yang dinyanyikan Oppick, seperti “Tombo Ati” atau yang berbau nasionalis seperti “Kebyar-Kebyar”-nya Gombloh, juga kebagian rejeki.

Ya, pengguna telepon seluler yang sekitar 160 juta orang tentu saja merupakan pasar yang ‘manis’. Tak heran, jika disebut-sebut, industri musik dan rekaman cukup diuntungkan dari industri dan telekomunikasi–kalau tak mau dibilang berhutang budi. Apalagi, yang cukup menarik adalah, RBT tidak bisa dibajak, sehingga HAKI begitu dijunjung alam layanan ini. Meski, soal pembagian, mungkin masih belum ada keseimbangan, antara pihak-pihak yang terlibat.

sumber : http://hsutadi.blogspot.com/


0 comments:

Posting Komentar

 

All About Music. © 2011